Sayyid Abul Hasan 'Ali an-Nadwi mendapat julukan Imam Rabbani, Islami, Qur'ani, Muhammadi dari DR. Yusuf Qardhawi, seorang ulama yang tersohor bijaksana dalam berbagai tulisan dan fatwa-fatwa kontemporer. An-Nadwi juga dikenal sebagai seorang ulama dan pemikir Muslim brilian yang bukan saja dikenal di tanah kelahirannya tapi juga di seluruh dunia Islam. Sampai akhir hayatnya (1999) beliau masih menempati beberapa posisi penting di lembaga Islam internasional seperti Rabitah 'Alam Islamy yang berpusat di Mekkah, Dewan Ilmu Pengetahuan dan Bahasa Arab di Damaskus, Majelis Pertimbangan di Universitas Madinah, serta ketua lektor Pusat Pengkajian Islam di Oxford University.
An-Nadwi dikenal sebagai ensiklopedis karena ilmunya yang melimpah dan daya kritisnya yang tajam. Visinya yang modernis dan integralis menjadikannya mampu mengembangkan aktifitas da'wah serta pemikiran ke berbagai bidang. Sebanyak 50 judul buku dalam beragam medan pemikiran Islam yang ditulis dalam empat bahasa yaitu Arab, Urdu, Perancis, dan Inggris berhasil beliau sumbangkan untuk memperkaya khazanah kepustakaan Islam. Selain itu, beliau juga telah menyampaikan ratusan ceramah hasil penelitian dan makalah yang kesemuanya ditulis untuk kemaslahatan serta pengabdiannya kepada Islam.
Beliau adalah ulama yang dapat diterima oleh semua aliran serta kalangan Islam di seluruh India dan juga kalangan di dunia Islam yang memungkinkannya berperan dalam menghilangkan berbagai penyebab pertikaian. Beliau telah tercatat berperan serta dalam kurang lebih seratus muktamar dan forum Internasional yang membahas problematika ummat dan masalah keislaman. Walaupun dikenal sebagai sosok modernis, beliau sangat keras menentang semua arus yang keluar dari manhaj Islam yang benar. Sejak muda ia mengkritik habis pemikiran takrif (Muslim yang mengkafirkan sesamanya) dan i'tizaliyah (mengisolasikan diri dari kehidupan dunia) yang muncul akibat pemahaman yang dangkal terhadap pemikiran Abul A'la al-Maududi di India dan Sayyid Qutb di Mesir.
Selama hidupnya, beliau memang dikenal sebagai seorang ulama yang lapang dada dan menghargai karya dan jerih payah orang lain, selama itu untuk Islam. Beliau sangat menjahui sifat fanatik buta terhadap tokoh yang ia kagumi. Beliau menganggap maulana Mohammad Ilyas adalah tokoh yang beliau kagumi dengan jama'ah tablighnya, tapi beliau tidak menutup mata bahwa jama'ah yang telah menyebar ke seluruh penjuru dunia ini butuh kepada pengembangan intelektualitas mereka.
Demikian halnya dengan Ikhwanul Muslimin(IM), beliau begitu mengagumi sosok Hasan al-Banna dan para pengikutnya, bahkan dalam pengantarnya terhadap karya al-Banna Mudzakaratudda'wah waddaiyah beliau menulis bahwa pembunuhan dan penganiayaan terhadap Al-Banna serta pengikutnya adalah sebuah kejahatan yang takkan pernah terlupakan oleh sejarah. Pada tahun 1951 beliau berkunjung ke Mesir dan berjumpa dengan para murid serta pengikut Al-Banna seperti Syeikh Mohammad al-Ghazali, Yusuf Al-Qardhawi dan lain-lain, memperkenalkan beliau lebih dekat tentang Ikhwanul Muslimin.
Meskipun demikian beliau mengakui bahwa (IM) bukanlah rumah yang dihuni oleh para malaikat yang lepas dari dosa dan kesalahan. Oleh sebab itu beliau menulis buku Uridu an Atahaddats ila Ikhwanil Muslimin. Karya tersebut beliau katakan sebagai kritik dan saran dari seorang Muslim untuk saudaranya.
0 komentar:
Posting Komentar