ristologi
A. Ahmad Hizbullah MAG
[www.ahmad-hizbullah.com]
Meski buku “Sang Putra dan Sang Bapa; Kristen dan Islam” ini sarat penghujatan terhadap Islam, namun penulisnya sempat memuji peribadatan umat Islam. Dalam bab 11 “Mengagumi Islam,” penulisnya memuji shalat umat Islam sebagai benteng pertahanan Islam dari gerakan pemurtadan:
“Hal lain yang dapat kita pelajari dari orang Islam adalah kesetiaan dan keseriusan mereka dalam mengikuti ajaran-ajaran agama mereka. Kita patut mengangkat topi pada mereka. Mesjid-mesjid selalu penuh setiap hari Jumat. Walaupun tidak semua, kebanyakan orang Muslim selalu berdoa lima kali sehari (shalat) dengan rajin. Itulah sebabnya mereka sangat terikat dengan agamanya. Tidak mudah seorang muslim pindah agama. Daerah-daerah yang mayoritas Islam bisa bertahan berabad-abad lamanya, tidak demikian halnya dengan kekristenan. Agama Kristen dulu menjadi mayoritas negara-negara Barat, tetapi kini sekularisme dan ateisme menguasai negara-negara Barat itu. Orang Kristen perlu belajar dan mereka” (hlm. 128).
Pujian penginjil ini benar adanya. Itulah kejujuran seorang penginjil dunia yang aktif dalam gerakan kristenisasi, bahwa mereka sulit mengkristenkan dan memurtadkan umat Islam yang rajin shalat. Karena shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.
Tepatlah firman Allah dalam Al-Qur'an surat Al-’Ankabut 45, bahwa shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Salah satu perbuatan keji dan kemungkaran yang besar adalah gerakan kristenisasi dan pemurtadan.
Tetapi jangan terlena dulu dengan pujian buku kristenisasi yang dijual bebas di toko buku Gramedia ini. Karena sejak awal, Curt Fletemier, Yusuf dan Tanti berterus terang bahwa mereka menulis buku ini secara khusus untuk mengkristenkan umat Islam sembari memperkuat iman kristiani. (baca Suara Islam edisi lalu).
Setelah memuji ibadah shalat yang dilakukan umat Islam, sang penginjil berputar haluan melecehkan shalat sebagai ritual penyembah berhala:
“Kebudayaan Islam Berakar dari Penyembahan Dewa Bulan. Setidaknya lima tiang utama dalam Islam berasal langsung dari praktik penyembahan berhala.” (hlm 146). “Sembahyang Lima Waktu. Para penyembah dewa bulan, yaitu para Sabean (seharusnya: Shabi’in, pen.), mempunyai waktu sembahyang yang rutin. Saat sembahyang, mereka akan sujud menyembah menghadap Ka'bah, seperti yang dilakukan para kaum Muslim pada masa ini. Sembahyang mereka hampir identik dengan sembahyang yang dilakukan oleh muslim pada masa ini.” (hlm. 148).
Sebelum menjawab tudingan bahwa ibadah shalat umat Islam meniru ritual kaum Shabi’in penyembah Dewa Bulan, perlu dijelaskan terlebih dahulu siapa kaum Shabi’in itu.
Menurut asal arti kata maknanya, Shabi'in ialah orang yang keluar dari agama asalnya, dan masuk ke dalam agama lain, sama juga dengan arti asalnya ialah murtad. Sebab itu ketika Nabi Muhammad mengkritisi agama nenek moyangnya yang menyembah berhala, lalu menegakkan aqidah Tauhid, oleh orang Quraisy menuding Nabi Muhammad SAW telah shabi' dari agama nenek-moyangnya.
[www.ahmad-hizbullah.com]
Meski buku “Sang Putra dan Sang Bapa; Kristen dan Islam” ini sarat penghujatan terhadap Islam, namun penulisnya sempat memuji peribadatan umat Islam. Dalam bab 11 “Mengagumi Islam,” penulisnya memuji shalat umat Islam sebagai benteng pertahanan Islam dari gerakan pemurtadan:
“Hal lain yang dapat kita pelajari dari orang Islam adalah kesetiaan dan keseriusan mereka dalam mengikuti ajaran-ajaran agama mereka. Kita patut mengangkat topi pada mereka. Mesjid-mesjid selalu penuh setiap hari Jumat. Walaupun tidak semua, kebanyakan orang Muslim selalu berdoa lima kali sehari (shalat) dengan rajin. Itulah sebabnya mereka sangat terikat dengan agamanya. Tidak mudah seorang muslim pindah agama. Daerah-daerah yang mayoritas Islam bisa bertahan berabad-abad lamanya, tidak demikian halnya dengan kekristenan. Agama Kristen dulu menjadi mayoritas negara-negara Barat, tetapi kini sekularisme dan ateisme menguasai negara-negara Barat itu. Orang Kristen perlu belajar dan mereka” (hlm. 128).
Pujian penginjil ini benar adanya. Itulah kejujuran seorang penginjil dunia yang aktif dalam gerakan kristenisasi, bahwa mereka sulit mengkristenkan dan memurtadkan umat Islam yang rajin shalat. Karena shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan munkar.
Tepatlah firman Allah dalam Al-Qur'an surat Al-’Ankabut 45, bahwa shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Salah satu perbuatan keji dan kemungkaran yang besar adalah gerakan kristenisasi dan pemurtadan.
Tetapi jangan terlena dulu dengan pujian buku kristenisasi yang dijual bebas di toko buku Gramedia ini. Karena sejak awal, Curt Fletemier, Yusuf dan Tanti berterus terang bahwa mereka menulis buku ini secara khusus untuk mengkristenkan umat Islam sembari memperkuat iman kristiani. (baca Suara Islam edisi lalu).
Setelah memuji ibadah shalat yang dilakukan umat Islam, sang penginjil berputar haluan melecehkan shalat sebagai ritual penyembah berhala:
“Kebudayaan Islam Berakar dari Penyembahan Dewa Bulan. Setidaknya lima tiang utama dalam Islam berasal langsung dari praktik penyembahan berhala.” (hlm 146). “Sembahyang Lima Waktu. Para penyembah dewa bulan, yaitu para Sabean (seharusnya: Shabi’in, pen.), mempunyai waktu sembahyang yang rutin. Saat sembahyang, mereka akan sujud menyembah menghadap Ka'bah, seperti yang dilakukan para kaum Muslim pada masa ini. Sembahyang mereka hampir identik dengan sembahyang yang dilakukan oleh muslim pada masa ini.” (hlm. 148).
Sebelum menjawab tudingan bahwa ibadah shalat umat Islam meniru ritual kaum Shabi’in penyembah Dewa Bulan, perlu dijelaskan terlebih dahulu siapa kaum Shabi’in itu.
Menurut asal arti kata maknanya, Shabi'in ialah orang yang keluar dari agama asalnya, dan masuk ke dalam agama lain, sama juga dengan arti asalnya ialah murtad. Sebab itu ketika Nabi Muhammad mengkritisi agama nenek moyangnya yang menyembah berhala, lalu menegakkan aqidah Tauhid, oleh orang Quraisy menuding Nabi Muhammad SAW telah shabi' dari agama nenek-moyangnya.
Menurut riwayat ahli-ahli tafsir, kaum Shabi'in itu adalah satu golongan dari orang-orang yang pada mulanya memeluk agama Nasrani, lalu mendirikan agama sendiri. Mereka masih berpegang teguh pada ajaran Al-Masih, tetapi mereka juga menyembah malaikat dan percaya kepada pengaruh bintangbintang.
Ibnu Katsir dalam menafsirkan surat Al-Ma'idah 69, menjelaskan bahwa menurut Mujahid, kaum Shabi'in adalah sempalan agama Yahudi, Kristen dan Majusi yang tidak beragama. Sedangkan menurut Qatadah, Shabi'in adalah kaum penyembah malaikat yang masih membaca kitab Zabur. Dalam ibadahnya, mereka shalat tidak menghadap ke kiblat, tapi menghadap ke Yaman lima kali sehari.
Senada itu, Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menyebut orang yang percaya kepada kebenaran semua agama itu sebagai kelompok Shabi’in seperti disebutkan dalam surat Al-Ma’idah ayat 69.
Dari penjelasan tersebut, jelaslah bahwa tuduhan Curlt Fletimer meleset. tidak benar ibadah shalat umat Islam menjiplak ritual kaum Shabi’in. Ritual kaum Shabi’in menghadap ke Yaman, sedangkan shalat berkiblat ke Ka’bah.
Kekeliruan penginjil Curlt Fletimer dalam melakukan perbandingan agama adalah menyimpulkan beberapa persamaan fisik ritual secara gegabah tanpa menunjukkan bukti-bukti historis yang jelas. Malah dalam beberapa analisa historis, Curt terlihat ragu-ragu, dengan memilih kata “mungkin saja” ketika mengait-ngaitkan Islam dengan agama penyembah berhala.
Beberapa persamaan Islam dengan agama lain, tidak bisa disimpulkan secara nakal bahwa Islam menjiplak agama lain. Terlebih jika keduanya banyak perbedaan. Dengan logika sederhana, bila Curlt Fletimer suka makan pisang, maka kita tidak bisa menghakiminya sebagai orang yang meniru kebiasaan monyet, hanya karena Curlt dan monyet sama-sama suka makan pisang.
Demikian pula dengan shalat menghadap kiblat pada waktu-waktu tertentu, tidak bisa digeneralisir sebagai ibadah penyembah berhala karena ada kemiripan dengan kaum Shabiin. Bukankah jauh sebelumnya para nabi melakukan shalat pada waktu tertentu menghadap ke Kiblat? Kalau Curt peneliti sejati, seharusnya tidak asing dengan ayat-ayat Bibel dalam Perjanjian Lama yang mengabadikan ibadah para nabi terdahulu.
Umat Islam melakukan shalat karena perintah Allah SWT, tak peduli dengan adanya persamaan dan perbedaan dengan agama lain. Umat Islam shalat bukan karena latah membebek agama lain, tapi karena menaati perintah Allah, antara lain: shalat dalam waktu-tertentu (Qs An-Nisa’ 103); shalat menghadap kiblat (Qs Al Baqarah: 144); dan shalat mengikuti teladan Nabi Muhammad SAW (HR Bukhari-Muslim: Shallu kama raaitumuni ushalli).
Perlu digarisbawahi, bahwa umat Islam shalat berkiblat ke Ka’bah, bukan untuk menyembah atau mendewakan Ka’bah. Menghadap Ka’bah ketika shalat, semata-mata sebagai arah (syathrun) yang telah ditetapkan Allah SWT, sedangkan tujuan yang diibadahi dan disembah, hanya kepada Allah SWT, Tuhan Pemilik Ka’bah itu (Qs. Al-Quraisy 3).
Kristen Bebas Beribadah Apa Saja Karena Tak Punya Aturan Ibadah dalam Bibel
Setelah menghina ibadah shalat sebagai yang dilakukan umat Islam secara rutin lima kali sehari menghadap qiblat, penginjil Curt Fletemier membangga-banggakan agama Kristen sebagai agama yang bebas. Menurutnya, umat Kristen bebas beribadah kapan saja, dengan cara apa saja, dan menghadap ke mana saja.
“Orang Kristen dapat berdoa dari segala arah karena Tuhan yang sejati dapat ditemukan di mana saja. Tidak ada suatu mandat ritual dalam doa umat Kristen, tidak ada suatu posisi tertentu, atau pakaian tertentu atau upacara tertentu. Doa yang sejati dan penyembahan yang benar adalah yang dilakukan dalam Roh dan kebenaran.” (hlm. 148).
Pernyataan ini menunjukkan bahwa penginjil Curt Fletemier cs awam dalam sejarah gereja, khususnya umat Kristen jemaat permulaan. Dalam babad gereja perdana, sejak semula kekristenan yang mula-mula (Kristen generasi awal/Gereja Purba) mereka melakukan ibadah dan berdoa pada waktu-waktu tertentu. Gereja permulaan berakar pada Keyahudiyan, sehingga mereka melakukan ibadah harian atau sembahyang tiga kali sehari, yaitu petang, pagi dan tengah hari (Mazmur 55:18, Daniel 6:10), dengan ritual tertentu.
Sampai saat ini, Gereja Timur masih melestarikan sembahyang harian yang dikenal dengan istilah “Shalat Tujuh Waktu.” Gereja Ortidox Syria menyebut sembahyang ini sebagai shalat fardu (wajib). Ketujuh waktu shalat Gereja Ortodox Syria itu adalah: Shalatus sa’atul awal (shalat jam pertama) pada jam 6 pagi; Shalatus sa’atuts tsalis (shalat jam ketiga) pada jam 9 pagi; Shalatus sa’atus sadis (shalat jam keenam) pada jam 12 siang; Shalatus sa’atut tis’ah (shalat jam kesembilan) pada jam 3 sore; Shalatus sa’atul ghurub (shalat jam terbenamnya matahari) pada jam 6 sore; Shalatun naum (shalat malam) pada jam 7 malam; dan Shalatus satar (shalat tutup malam) pada jam 12 malam. (Kitabus Sab’ush Sholawat: Sekilas Soal Sholat Tujuh Waktu dalam Gereja Orthodox, hlm. 12).
Sebelum melakukan ibadah sembahyang, menurut Tradisi Gereja dan Bibel, umat Kristen Orthodox pun juga “bersuci” dengan jalan membasuh telapak tangan, membasuh wajah dan kepala, membasuh tungkai kaki, serta seluruh kaki. Ini semua tertulis dalam Kitab Mazmur 26:1-12. Sedangkan “kiblat” sewaktu sembahyang adalah menghadap ke Timur, ke Ka’bah Baitullah di Yerusalem berdasarkan Injil Yohanes 2:9-21.
Dengan data ini, maka teologi ibadah bebas tanpa aturan yang diajarkan penginjil Curt Fletemier ini terbantah oleh teologi Kristen sendiri.
Jika Curt tegar tengkuk membanggakan ibadah bebas tanpa aturan, yang penting ibadah dalam roh dan kebenaran, maka ini adalah kebanggaan yang keliru. Sesuatu yang seharusnya memalukan, malah dibanggakan.
Ibadah adalah inti agama setelah keyakinan (aqidah). Jika suatu agama kosong dari tatacara ibadah, berdoa, pengabdian dan sembahyang, apakah ia masih layak disebut sebagai agama yang berketuhanan?
Jika teologi Curt diikuti, bahwa umat boleh berdoa kapan saja dan dengan cara apa saja, yang penting dalam roh dan kebenaran, maka dari seribu umat bisa melahirkan dua ribu ritual ibadah. Dan jika ibadah/sembahyang/kebaktian kepada Tuhan boleh dilakukan di mana saja karena Tuhan bisa ditemukan di mana saja, sesuai dengan ajaran penginjil Curlt Fletemier, maka betapa rusak dan kotornya suatu agama. Nanti bisa-bisa akan ada kebaktian di WC umum, di tempat sampah, di kuburan, di lokalisasi kemesuman, dan sebagainya.
Ajaran ini bertentangan dengan Islam yang begitu indah, yang menekankan bahwa Tuhan itu Maha Suci (Al-Quddus) yang mencintai kesucian. []
Ibnu Katsir dalam menafsirkan surat Al-Ma'idah 69, menjelaskan bahwa menurut Mujahid, kaum Shabi'in adalah sempalan agama Yahudi, Kristen dan Majusi yang tidak beragama. Sedangkan menurut Qatadah, Shabi'in adalah kaum penyembah malaikat yang masih membaca kitab Zabur. Dalam ibadahnya, mereka shalat tidak menghadap ke kiblat, tapi menghadap ke Yaman lima kali sehari.
Senada itu, Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menyebut orang yang percaya kepada kebenaran semua agama itu sebagai kelompok Shabi’in seperti disebutkan dalam surat Al-Ma’idah ayat 69.
Dari penjelasan tersebut, jelaslah bahwa tuduhan Curlt Fletimer meleset. tidak benar ibadah shalat umat Islam menjiplak ritual kaum Shabi’in. Ritual kaum Shabi’in menghadap ke Yaman, sedangkan shalat berkiblat ke Ka’bah.
Kekeliruan penginjil Curlt Fletimer dalam melakukan perbandingan agama adalah menyimpulkan beberapa persamaan fisik ritual secara gegabah tanpa menunjukkan bukti-bukti historis yang jelas. Malah dalam beberapa analisa historis, Curt terlihat ragu-ragu, dengan memilih kata “mungkin saja” ketika mengait-ngaitkan Islam dengan agama penyembah berhala.
Beberapa persamaan Islam dengan agama lain, tidak bisa disimpulkan secara nakal bahwa Islam menjiplak agama lain. Terlebih jika keduanya banyak perbedaan. Dengan logika sederhana, bila Curlt Fletimer suka makan pisang, maka kita tidak bisa menghakiminya sebagai orang yang meniru kebiasaan monyet, hanya karena Curlt dan monyet sama-sama suka makan pisang.
Demikian pula dengan shalat menghadap kiblat pada waktu-waktu tertentu, tidak bisa digeneralisir sebagai ibadah penyembah berhala karena ada kemiripan dengan kaum Shabiin. Bukankah jauh sebelumnya para nabi melakukan shalat pada waktu tertentu menghadap ke Kiblat? Kalau Curt peneliti sejati, seharusnya tidak asing dengan ayat-ayat Bibel dalam Perjanjian Lama yang mengabadikan ibadah para nabi terdahulu.
Umat Islam melakukan shalat karena perintah Allah SWT, tak peduli dengan adanya persamaan dan perbedaan dengan agama lain. Umat Islam shalat bukan karena latah membebek agama lain, tapi karena menaati perintah Allah, antara lain: shalat dalam waktu-tertentu (Qs An-Nisa’ 103); shalat menghadap kiblat (Qs Al Baqarah: 144); dan shalat mengikuti teladan Nabi Muhammad SAW (HR Bukhari-Muslim: Shallu kama raaitumuni ushalli).
Perlu digarisbawahi, bahwa umat Islam shalat berkiblat ke Ka’bah, bukan untuk menyembah atau mendewakan Ka’bah. Menghadap Ka’bah ketika shalat, semata-mata sebagai arah (syathrun) yang telah ditetapkan Allah SWT, sedangkan tujuan yang diibadahi dan disembah, hanya kepada Allah SWT, Tuhan Pemilik Ka’bah itu (Qs. Al-Quraisy 3).
Kristen Bebas Beribadah Apa Saja Karena Tak Punya Aturan Ibadah dalam Bibel
Setelah menghina ibadah shalat sebagai yang dilakukan umat Islam secara rutin lima kali sehari menghadap qiblat, penginjil Curt Fletemier membangga-banggakan agama Kristen sebagai agama yang bebas. Menurutnya, umat Kristen bebas beribadah kapan saja, dengan cara apa saja, dan menghadap ke mana saja.
“Orang Kristen dapat berdoa dari segala arah karena Tuhan yang sejati dapat ditemukan di mana saja. Tidak ada suatu mandat ritual dalam doa umat Kristen, tidak ada suatu posisi tertentu, atau pakaian tertentu atau upacara tertentu. Doa yang sejati dan penyembahan yang benar adalah yang dilakukan dalam Roh dan kebenaran.” (hlm. 148).
Pernyataan ini menunjukkan bahwa penginjil Curt Fletemier cs awam dalam sejarah gereja, khususnya umat Kristen jemaat permulaan. Dalam babad gereja perdana, sejak semula kekristenan yang mula-mula (Kristen generasi awal/Gereja Purba) mereka melakukan ibadah dan berdoa pada waktu-waktu tertentu. Gereja permulaan berakar pada Keyahudiyan, sehingga mereka melakukan ibadah harian atau sembahyang tiga kali sehari, yaitu petang, pagi dan tengah hari (Mazmur 55:18, Daniel 6:10), dengan ritual tertentu.
Sampai saat ini, Gereja Timur masih melestarikan sembahyang harian yang dikenal dengan istilah “Shalat Tujuh Waktu.” Gereja Ortidox Syria menyebut sembahyang ini sebagai shalat fardu (wajib). Ketujuh waktu shalat Gereja Ortodox Syria itu adalah: Shalatus sa’atul awal (shalat jam pertama) pada jam 6 pagi; Shalatus sa’atuts tsalis (shalat jam ketiga) pada jam 9 pagi; Shalatus sa’atus sadis (shalat jam keenam) pada jam 12 siang; Shalatus sa’atut tis’ah (shalat jam kesembilan) pada jam 3 sore; Shalatus sa’atul ghurub (shalat jam terbenamnya matahari) pada jam 6 sore; Shalatun naum (shalat malam) pada jam 7 malam; dan Shalatus satar (shalat tutup malam) pada jam 12 malam. (Kitabus Sab’ush Sholawat: Sekilas Soal Sholat Tujuh Waktu dalam Gereja Orthodox, hlm. 12).
Sebelum melakukan ibadah sembahyang, menurut Tradisi Gereja dan Bibel, umat Kristen Orthodox pun juga “bersuci” dengan jalan membasuh telapak tangan, membasuh wajah dan kepala, membasuh tungkai kaki, serta seluruh kaki. Ini semua tertulis dalam Kitab Mazmur 26:1-12. Sedangkan “kiblat” sewaktu sembahyang adalah menghadap ke Timur, ke Ka’bah Baitullah di Yerusalem berdasarkan Injil Yohanes 2:9-21.
Dengan data ini, maka teologi ibadah bebas tanpa aturan yang diajarkan penginjil Curt Fletemier ini terbantah oleh teologi Kristen sendiri.
Jika Curt tegar tengkuk membanggakan ibadah bebas tanpa aturan, yang penting ibadah dalam roh dan kebenaran, maka ini adalah kebanggaan yang keliru. Sesuatu yang seharusnya memalukan, malah dibanggakan.
Ibadah adalah inti agama setelah keyakinan (aqidah). Jika suatu agama kosong dari tatacara ibadah, berdoa, pengabdian dan sembahyang, apakah ia masih layak disebut sebagai agama yang berketuhanan?
Jika teologi Curt diikuti, bahwa umat boleh berdoa kapan saja dan dengan cara apa saja, yang penting dalam roh dan kebenaran, maka dari seribu umat bisa melahirkan dua ribu ritual ibadah. Dan jika ibadah/sembahyang/kebaktian kepada Tuhan boleh dilakukan di mana saja karena Tuhan bisa ditemukan di mana saja, sesuai dengan ajaran penginjil Curlt Fletemier, maka betapa rusak dan kotornya suatu agama. Nanti bisa-bisa akan ada kebaktian di WC umum, di tempat sampah, di kuburan, di lokalisasi kemesuman, dan sebagainya.
Ajaran ini bertentangan dengan Islam yang begitu indah, yang menekankan bahwa Tuhan itu Maha Suci (Al-Quddus) yang mencintai kesucian. []
0 komentar:
Posting Komentar