Selasa, 06 September 2011

Rudolf Otto

Jika ada teolog berbasis pada fenomenologi, Rudolf  Otto adalah orangnya. Sebagai profesor di Universitas Marburg, ia memang mendalami fenomena agama dan kemudian menjadi sejarawan agama yang kritis. Sebagai pemerhati agama berkebangsaan Jerman, Otto telah menghasilkan banyak buku. Salah satu karya magnum opusnya berjudul Das Hellige yang terbit tahun 1917. Buku ini kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris dengan judul The Idea of the Holy (1927). Sampai saat ini, buku itu telah menjadi rujukan utama dalam studi-studi agama kontemporer dan menjadi buku klasik yang harus dibaca oleh para peminat perbandingan agama.
Interpretasinya tentang agama-agama di dunia yang dipaparkan dalam buku tersebut kemudian memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kajian fenomenalogi agama dan dalam usaha menyelidiki serta menganalisis model-model pengalaman beragama. Dalam buku tersebut, Otto menolak pendekatan yang terlalu rasional terhadap masalah agama. Selebihnya, Otto menawarkan segi suprarasional dalam pengalaman beragama. Menurutnya, unsur esensial pengalaman beragama yang suprarasional ialah pengalaman numinous. Bagi Otto, agama pasti memiliki unsur rasional (yang terpikirkan) dan suprarasional (yang tidak tak terpikirkan).
Bagi Otto, makna numinous adalah perasaan dan keyakinan sesorang terhadap adanya Yang Maha Kuasa, Yang Esa, Yang Kudus. Sesutau ini diyakini lebih besar dan lebih tinggi serta tidak bisa dijangkau dan dikuasai oleh akal manusia. Atau dengan kata lain numinous  adalah Yang Kudus dalam arti kekudusan suprarasional. Yang Kudus juga dihayati oleh orang beriman dengan segala keterbatasannya. Di hadapan Yang Kudus, manusia mempunyai perasaan bahwa ia tidak berarti  apa-apa karena manusia mengakui kemakhlukannya yang tidak lebih dari hasil ciptaan dari sesuatu yang lebih adidaya.
Walaupun sedikit ahli fenomenologi yang setuju bahwa getaran jiwa bisa dianggap sebagai pembentuk basis agama, Otto justru menunjukkan dengan jelas bahwa perasaan-perasaan beragama merupakan ciri penting keadaan jiwa manusia. Ekspresi keagamaan manusia selalu hadir dalam setiap kehidupannya di dunia. Karena perasaan itu “ada” dan hadir dalam tiap manusia maka perasaan-perasaan tersebut dianggap sebagai cara untuk memahami Yang Kudus.
Kekuatan numinous ini kemudian diyakini oleh manusia dengan berbagai macam cara yang berbeda-beda. Kadang-kadang ia diinspirasikan dengan suatu kebuasan yang menyeramkan dan menakutkan; dan kadang-kadang dengan suatu ketenangan yang dalam dan menyejukan; dan kadang-kadang digambarkan sebagai kekuatan yang misterius. Di sinilah manusia merencankan mitos-mitosnya sebagai Tuhan dengan sesuatu yang tidak terlalu sulit untuk dipahami yang pada gilirannya mereka menyembah tuhan-tuhan tersebut sebagai cara memenuhi kemakhlukannya.
Objek numinous  dalam pengalaman religius adalah mysterium tremendum et fascinans,  bahwa yang Maha Kuasa merupakan misteri yang Maha Dahsyat dan sekaligus juga misteri yang mempesonakan dan sangat menarik. Gagasana ini menegaskan perbedaan elemen-elemen konsep Otto akan transendensi: Tuhan yang jauh tetapi dekat, ia dekat tetapi tak bisa diraba karena ia hanya bisa dirasa. Makna mysterium  kemudian menjelaskan bahwa Tuhan adalah keseluruhan yang lain, tidak dapat diketahui dan tidak dapat dilukiskan. Tremendum mengungkap aspek keagungan dan kekuatan yang mendasari pengalaman agama asli dan awal. Sedangkan fascinans mengembangkan tema yang berkaitan dengan keterpesonaan dan kekaguman makhluk dengan penciptanya.
Perjalanan Kehidupan Rudolf Otto
Rudolf Otto dilahirkan di kota Peine (dekat Hanover) pada tanggal 25 September 1869. Ia belajar di Gymnasium Adreanum di Hidesheim, kemudian melanjutkan belajarnya di Universitas Erlangen dan Gottingen. Ia meraih gelar doktornya dari Gottingen dengan desertasinya tentang Luther dan Habilitasinya tentang Kant. Tidak mengherankan manakala corak pemikirannya dipengaruhi oleh dua tokoh tersebut. Otto memandang bahwa Luther dan Kant merupakan representasi dari dua paham agama, yakni suprarasional dan rasional. Pada Luther, Otto menemukan iman yang membuat manusia berpikir, sedang pada Kant, Otto menemukan pikiran yang membuat manusia beriman.
Tahun 1906 Otto menjadi professor. Tahun 1910  atas jasa-jasanya, Otto memperoleh gelar doktor kehormatan dari Universitas Giessen.  Selanjutnya, tahun 1915 ia menjadi professor di Universitas Breslau dan 1917 di universitas Marbug’s Divinity School, salah satu seminari Protestan paling terkenal di dunia pada waktu itu. Selebihnya, ia memutuskan untuk tetap di Marbug walaupun tawaran mengajar dan berseminar banyak berdatangan.
Di samping sebagai pengajar, Otto juga aktif dalam panggung perpolitikan. Ia pernah duduk sebagai anggota parlemen Prussia tahun 1913-1918. Orientasi politiknya tetap liberal dan progresif karena ia memandang aktifitas tersebut sebagai suatu kewajiban, bukan sekedar memenuhi ambisinya.
Otto merupakan ilmuwan yang selalu haus akan pengetahuan. Ia tidak puas mempelajari sesuatu kalau tidak langsung dari sumbernya. Inilah yang membawanya untuk berkelana. Ia berkontak langsung dengan alam Islam (Mesir, Afrika Utara dan Palestina), Yunani dan Ortodoksi Russia, dan mempelajari budaya agama India, Jepang, dan China. Ia juga mengunjungi Amerika Serikat guna mengkampanyekan kebebasan beragama. Ia juga mengupayakan penyelenggaraan perkuliahan Gifford di Edinburg, Skotlandia. Namun, di tengah usahanya untuk terus mengkampanyekan “agama yang dipahami dari rasio dan supra rasio,” tiba-tiba ia meninggal pada tanggal 5 Maret 1937 karena terjangkit Malaria. Jenazahnya banyak ditangisi para muridnya. Makamnya selalu diziarahi para pengagumnya, dan buku-bukunya dipakai di pusat-pusat studi keagamaan dunia.
Karya dan Pemikirannya
Otto merupakan sarjana yang keras dalam tradisi akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 di lingkungan akademisi liberal Jerman.  Meskipun pada akhirnya ia menekankan inti suprarasional agama, ia tegas berlabuh pada tradisi kritis Kant. Otto tidak berupaya memahami karakter khusus kesadaran agama, maka terbitlah buku pertama yang bersumber dari tokoh idolanya, “The Perception of the Holy Spirit by Luther.”
Selanjutnya, tahun 1904 terbit bukunya yang lain, “Naturalism and Religion” yang membangun reputasinya dengan membandingkan pendekatan dasar sains dengan pendekatan agama, serta kemungkinan pandangan dunia yang terintegrasi. Bukunya yang lebih signifikan yakni, “The Philosophy of Religion Based on Kant and Fries” (1909) lebih detil menceritakan paham Kant. Menurutnya, tokoh dan teolog Jakob Friedrich Fries mencoba mengintegrasikan elemen intuitif etika Kantian, dengan memperkenalkan gagasan ahndung (firasat intuitif). Fries mencoba melampaui rasionalisme agnostik Kant dan memperhitungkan kapasitas manusia untuk menjangkau realitas. Namun demikian, tak seorangpun yang lebih besar pengaruhnya terhadap Otto selain Friedrich Schleiermacher (1768-1834), bapaknya para teolog Jerman yang mengawali pendekatan intuisi baru agama selama satu abad sebelumnya. Tesis Schleiermacher yang terkenal adalah “agama adalah perasaan ketergantungan mutlak.” Dari tesis inilah Otto mengembangkan hipotesa-hipotesa lanjutan yang kemudian menjadikan dirinya sebagai salah satu teolog-fenomenolog terbesar pada zamannya.
Beberapa karya Otto dalam edisi bahasa Inggris yang sangat terkenal adalah: Naturalism and Religion, London 1907. The Life and Ministry of Jesus, Chicago 1908. The Idea of the Holy, Oxford 1923. Christianity and the Indian Religion of Grace, Madras 1928. India’s Religion of Grace and Christianity Compared and Contrasted, New York 1930. The Philosophy of Religion Based on Kant and Fries, London 1931. Religious Essays: A supplement to The Idea of the Holy, London 1931. Mysticism East and West: A Comparative Analysis of the Nature of Mysticism, New York 1932. The Original Gita: The Song of the Supreme Exalted One, London 1939. The Kingdom of God and the Son of Man: A Study in the History of Religion, Boston 1943. Autobiographical and Social Essays, Berlin 1996.
Misteri Suprarasional di Balik Agama
Dalam bukunya, “The Idea of the Holy: An Inquiry into the Non-rational Factor in the Idea of the Divine and its Relation to the Rational,” Rudolf Otto mengungkapkan bahwa suprarasional tidak bisa disamakan dengan irrasional. Ia menyebutnya misteri, elemen dasar semua agama yakni numinous. Ia menggunakan kata numen yang merujuk pada dewa atau tuhan. Zat yang berdiri sendiri, unik, tunggal, tidak tak terhitung, tidak sama dengan mahluk dan tak terelakkan.
Menurut Otto, perasaan yang berada dalam kehadiran numen menjadi realitas transenden dan merupakan pengalaman dasar insani. Karenanya, ia harus berfungsi sebagai titik tolak segala ontologi pengalaman beragama. Hasil dari mengalami kehadiran numinous ini adalah merasa terkesan secara mendalam dengan kebergantungan kepadanya. Ini menimbulkan suatu hal yang oleh Otto disebut “rasa kemakhlukan.” Tetapi Otto mengingatkan, jangan tergoda untuk menganggap “rasa kebergantungan”  [sebagaimana Schleiermacher menyebutnya] ini sebagai realitas primer, dan [jangan tergoda untuk] mengira bahwa dari situ kita menyimpulkan keimanan kepada suatu obyek dasar. Hal ini karena—menurut Otto, mula-mula obyek itu muncul sendiri kepada kita secara misterius, dan perasaan mistisnya hanya mengikutinya sebagai akibat. Tak peduli apa yang kita yakini perihal Tuhan, kehadiran numinous ini akan muncul kepada kita sebagai sesuatu yang bisa diperikan dengan menilik ide tentang yang “suci” (the holy).
Otto mengerahkan banyak usaha demi tugas untuk menjelaskan hakikat pengalaman kita tentang numinous. Ia mengemukakan, obyek “suci” itu suprarasional sekaligus supramoral. Ini tidak berarti bahwa obyek tersebut irrasional dan immoral, tetapi hanya bahwa pertanyaan tentang rasionalitas dan moralitasnya tidak relevan bila mendatangi perasaan yang ditimbulkan oleh pengalaman yang semendalam itu. Selanjutnya Otto menamai perasaan ini sebagaiu mysterium tremendum dan mengemukakan bahwa ini mencakup lima “unsur” yang berbeda: keseganan, kemegahan, urgensi, misteri, dan pesona. Perasaan segan (awe) mengacu pada sejenis ketakutan atau kengerian (suatu debaran) dalam kehadiran sesuatu yang misterius. Pengakuan kemegahan (majesty) obyek numinous membangkitkan rasa rendah-hati (atau “rasa kemakhlukan”) dalam diri kita.
Fakta bahwa hal di atas  merupakan pengalaman nyata yang dialami oleh obyek yang hidup dan bukan sekadar teori filosofis abstrak, terungkap dalam “energi” atau urgensi yang kita rasakan manakala kita mempunyai pengalaman semacam itu. Urgensi ini kadang-kadang bisa menambah rasa ngeri kita, sebagaimana ketika itu datang dalam bentuk “murka Tuhan,” tetapi itu juga menimbulkan pengakuan bahwa obyek ini ‘sepenuhnya lain’ (wholly other) yakni misterius. Perasaan-perasaan itu agak negatif sejauh ini, dan mungkin dengan sendirinya menyebabkan kita lari dari obyek numinous itu; namun perasaan-perasaan tersebut diseimbangkan oleh rasa pesona yang mempertahankan ketertarikan kita secara mendalam terhadap pengalaman itu dan terhadap obyek yang tak dikenal itu.
Beragama Secara Munafik
Dalam banyak perbincangan keagamaan, sering muncul gugatan terhadap perilaku manusia yang tak sesuai dengan ajaran agamanya. Banyak orang beriman tetapi perilakunya anti Tuhan. Banyak orang mengaku Islam tetapi perilakunya jahat dan biadab. Tentu ini menjadi kajian tersendiri yang menarik ahli-ahli agama termasuk Otto.
otto1Menurut Otto, sebetulnya masalah pelik ini juga timbul dengan latar belakang rasio yang tidak menyadari numinous yang omnipresent (kehadiran Tuhan di mana-mana). Mereka tidak sadar bahwa kekudusan harus menghasilkan tindakan kudus, kepenciptaan harus menghasilkan kemakhlukan sehingga antara ajaran dan tingkahlakunya seimbang dan sejalan. Dalam kasus lain yang mirip adalah munculnya sistem keyakinan atau agama yang dianggap paling benar (truth claim) dan dianut oleh banyak orang sehingga mereka berhak menguasai simbol-simbol kekuasaan di masyarakat (urusan politik maupun ekonomi).
Dalam konteks truth claim agama-agama, Otto merekomendasikan agar kita harus mempertajam cara pandang dengan melihat muatan dari agama-agama, khususnya soal kebenaran sejati yang sama-sama diklaim semua agama. Menurut Rudolf Otto, kebenaran dalam wacana agama bersifat normatif, personal dan psikologis, atau sui generis. Karenanya, kebenaran tersebut tidak bersifat materialistik dan ekspansif. Dus, ia tidak hadir untuk dipaksakan agar diterima oleh orang lain. Sebab, ia bersemayam dalam hati orang-orang yang menghayati hakekat beragama. Karena itu idealnya, kelompok umat beragama yang meyakini agamanya sebagai ajaran yang paling benar, harus mau mendalami keyakinannya itu secara terus menerus. Dan, tidak merasa sudah sampai kebenaran final.
Kaum beragama dan beriman tidak boleh memaksa supaya agama dan imannya diterima oleh pihak lain, apalagi dijadikan modal untuk menguasai pihak lain yang berbeda keyakinan. Tapi sayang, dalam kenyataannya hal-hal ideal itu tidak mudah diwujudkan. Sekelompok penganut agama masih kerap berekspansi terhadap penganut agama lainnya. Secara geografis mereka merasa wajib menguasai suatu wilayah untuk didiami cuma oleh orang-orang yang seiman. Secara politik mereka merasa harus menjadi pemimpin-pemimpin utama negara, secara ekonomi mereka merasa lebih punya hak, secara sosial terkadang mereka merasa lebih beradab.
Jika itu yang terjadi maka agama yang penuh kedamaian menjadi penuh pendendaman. Suatu gejala kontradiktif dengan pencitraan atas entitas agama sebagai pesan-pesan suci (holy messages) dan para penganutnya sebagai orang-orang yang beragama (homo religius) tetapi tingkah lakunya “tak beragama.” Padahal homo religius, adalah tipe manusia yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai ketuhanan, dan bisa menikmati sakralitas yang ada yang tampak pada alam semesta, alam materi, alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan manusia.
Pengalaman dan penghayatan atas Yang Suci (the holy) itu selanjutnya mempengaruhi, membentuk dan menentukan corak serta cara hidupnya. Jadi manusia beragama ialah manusia yang sadar dengan kesucian lingkungan di sekelilingnya, sesuai dengan normativitas keyakinannya, dan dipraktekkan dengan penuh kesadaran kemanusiaan. Ringkasnya, manusia beragama sebetulnya tidak mungkin melakukan perusakan terhadap lingkungannya, alam ataupun sesama manusia. Bila dalam kenyataannya umat beragama justru melakukan kekerasan dan perusakan, tampaknya identitas beragamanya itu mesti ditinjau ulang. Karenanya, perusakan dan kejahatan cuma dilakukan oleh homo non-religius [kafir] atau manusia melawan beragama. Mereka ini termasuk tipe manusia modern yang tidak menghargai sakralitas dunia, dan menganggap segala sesuatu sebagai profan, materialistik, dan karenanya mereka merasa berhak berperilaku sekehendak hatinya.
Lantas adakah manusia yang berlabel homo religius tapi cenderung mendekati karakteristik homo non-religius?Tentu ada, dan itulah orang-orang hipokrit (munafik). Mereka inilah yang memahami agama sebagai identitas, label, lembaga, atau paling jauh sebagai tempat perlindungan. Ketika menghadapi ancaman dari pihak lain, mereka cepat tersinggung lantas melawannya demi agama. Mereka sibuk mengasah belati dan pedang setiap hari sampai lupa menyembah Tuhannya. Ketika mereka kesusahan dan terluka, dengan segera mereka berlindung kepada Tuhan yang semata-mata diketahuinya melalui rumah-rumah ibadah, rahib-rahib, pastor-pastor, kiai-kiai, dan seterusnya.
Karena itu, menurut Otto, umat beragama idealnya tidak cuma berperan sebagai aktor (pelaku) namun juga observer. Artinya, ia tidak bertindak dan beretika sosial hanya menurut kepercayaan diri dan kepentingannya, namun juga mengamati realitas bahwa dirinya hidup dalam lingkungan yang amat majemuk dan plural. Itu semua karena agama (apa pun nama dan jenis ritualnya) adalah entitas yang lahir secara substansial untuk menyejukkan hati para pemeluknya. Pengetahuan akan numinous lahir menawarkan sekumpulan kebijaksanaan, ajaran kebaikan, dan rentetan-rentetan doa keselamatan. Karena itu, umat beragama harus menggunakannya secara baik, bila tidak mau menjadi munafik (hipokrit) dalam beragama. Dan, di sinilah titik api kaum beragama, kaum beriman.[]

1 komentar:

Enggak dicantumin referensinya min

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites