Selasa, 06 September 2011

Roland Barthes

Salah satu pemikir strukturalis yang aktif mempraktekkan model linguistik Saussurean dan semiologinya adalah Roland Barthes. Disini akan diuraikan riwayat singkat Barthes dan beberapa karyanya berdasarkan uraian Bertens (1989) dan Jonathan Culler (1983).
Roland Barthes lahir di tahun 1915 dari keluarga menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai atlantik di sebelah barat daya perancis dan Paris. Ayahnya seorang perwira angkatan laut yang terbunuh dalam tugas saat usianya baru satu tahun. Barthes senang bermain piano dan bibinya adalah seorang guru piano, sehingga ia dapat bermain piano kapanpun dia suka. Masa hidupnya di latari oleh budaya borjuasi dan ia sering mendengarkan para nyonya bergosip waktu minum teh. Ketika berusia sembilan tahun dia pindah ke Paris bersama ibunya yang bergaji kecil sebagai penjilid buku.

Pada tahun 1934 Barthes berencana masuk Ecole Normale Superiure, tapi penyakit TBC terlebih dahulu menghinggapinya sehingga dia harus berobat ke Pyeness. Setahun kemudian dia kembali ke Paris dan masuk Universiatas dengan mengambil studi bahasa latin, Prancis dan Yunani. Selama kuliah, Barthes sempat menampilkan drama-drama klasik bersama kelompok yang dibentuknya. Ketika perang di mulai tahun 1939 Barthes di bebastugaskan dan bekerja di Lycess dan Paris.

Pada thaun itu TBC-nya kumat lagi, maka selama 5 tahun dia berada di sanatorium Alps. Selama itu dia mengaku menjadi seorang Marxian dan Sartrean. Kemudian Barhez di posisikan menjadi pengajar luar negeri; pertama di Rumania kemudian di Mesir tempat dia diajari linguistik Modern oleh seorang mitranya, I.J. Greimas.

Sekembalinya ke Prancis, dua tahun dia bekerja di divisi pelayanan budaya pemerintah yang memperhatikan pengajaran ke luar negeri. Pada tahun 1952, Barthes mendapat beasisiswa unutk mengerjakan tesis leksiologi. Dia membuat sedikit kemajuan pada tesisnya, tapi dia malah mempulikasikan dua kritik sastra: le Degree Zero de l’Ecriture (1953) yang mengkritiki kebudayaan Borjuis dan Michalet par Lui Meme(1954). Tahun 1956 dia membaca kursus linguistik Umum-nya Saussure dan mulai menyadari kemungkinan-kemungkinan untuk menerapkan semiologi di bidang-bidang lain

Pada tahun 1955 dia kehilangan beasiswa dan bekerja di sebuah penerbitan sambil menulis banyak artikel. Sementara itu di tahun yang sama, temannya mencarikan beasiswa yang lain. Kali ini untuk sebuahstudi yang akhirnya membawanya menyusun The Fashion Systemdan diterbitkan pada tahun 1957. Bukunya terse data kultural yang telah terkenal (sabun mandi, iklan di surat kabar), sebagai gejala masyarakat borjuis yang mencoba memperlihatkan ideologinya.
Setelah itu pada thaun 1960, Barthes memperoleh posisi di Ecole Pratque de Hautes dan menjadi dosen reguler pada tahun 1962. Pada tahun 1963 dia menerbitkan buku yang paling kontroversial, Sur Racine yang mana ia melakukan interpretasi baru dari sudut pandang strukturalis terhadap dramawan Prancis abad ke 17 dengan menggunakan pendekatan baru yang di namainya Nouvelle Critique.

Dan kemudian pada tahun 1964, Barthes mempublikasikan buku yang merupakan visis ilmu tentang tanda-tanda yaitu Elements de Semiologie yang membuatnya terkenal sebagai pakar semiologi struktural.
Sampai tahun 1965, Barthes aktif (meskipun masih sebagai tokoh pinggiran) di panggung intelektual Perancis, tapi kemudian seorang Profesor dari Sorbonne, RaymondPicard, mempublikasikan Nouvelle Critique ou Nouvelle Imposture?, (kritik bari ataukah Tukang obat baru?) untuk menyerang Barthes secara khusus dan membela pandangan tradisional tentang Racine. Peristiwa ini diangkat dan di eksploitasi oleh pers Perancis yang membuat Barthes menjadi wakil dari segala yang radikal, tak waras dan tak sopan dalam studi-studi sastra. Meskipun Picard telah menyangkal formulasi-formulasi Psikoanalitik dalam diskusi-diskusi tentang Racine, kericuhan ini cepat menjati perseteruan yang justru membawa Barthes terkenal di taraf internasional. Barthes menjawab Picard dengan Critique et Verite (1966), dan mengusulkan sebuah ilmu sastra strukturalis yang diikuti berbagai artikel tentang retorika dan naratif.
Dari berbagai peristiwa itulah maka di penghujung 1960-an, Barthes disejajarkan setaraf dengan Clauude Levi-Strauss, Michael Foucoult dan Jaques Lacan.dan pada puncak kariernya itulah dai menerbitkan Le Plaisir du Text (1973) dan Roland Barthes por Roland Barthes (1975) yang isinya melakukan penelitian aneh.
Pada tahun 1976, dia di janjikan sebuah posisi di College de France dan diangkat sebagai profesor ‘Semiologi literer’, akan tetapi dia menolak menjadi profesor.
Paris, tempat Psikoanalisa menjadi gaya umum para intelektual, Barthes tampaknya telah menjadi promotor utama nilai-nilai sastra tradisional dan teoritisi prinsip non-psikoanalisa dalam hidup keseharian. Di tahun 1980, Barthes menerbitkan La Chambre Claire yang lebih merupakan mediatasi atas foto-foto favoritnya daripada sebuah analisa seni fotografi.
Hingga akhirnya di bulan Februari 1980 saat ia keluar dari perteman makan siang dengan para politisi dan intelektual sosialis, Barthes di tabrak oleh sebuah truk binatu saat menyebrangi jalan di depan College de France. Walaupun dia telah cukup sembuh untuk menerima penjenguk, tapi akhirnya dia meninggal empat minggu kemudian. Kematiannya makin membuat rumit kariernya karena terjadi di pertengahan berbagai proyek yang justru sedang di jalaninya.

Semiologi Roland Barthes

Semiologi atau semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika. Berasal dari “semeion” yang nampaknya di turunkan dari kedokteran hipokrit yang dengan perhatiannya lebih condong pada simptamologi dan diagnostik (Sinha, 1988:3). ‘Tanda’ pada masa itu masih bermakna pada sesuatu hal yang menunjuk akan adanya hal lain. Ini memiliki hubungan yang relatif dekat dengan penandaan yang di kemukakan oleh Aristoteles. Dana sebagai penggantinya, Madhab Stoa telah mengelaboirasinya kedalam sebuah penyimpulan yang ketat (Eco, 1984:15), yang menjelaskan bahwa tanda adalah sebuah preposisi yang di konstitusi oleh koneksi yang valid dan menjelaskan kepada konsukuensinya.
Jadi jelaslah bahwa memang studi tentang tanda lebih condong mengarah pada penalaran (logika) dan kemungkinan-kemungkinan pengetahuan (epistimologi). Di sebutkan bahwa ad catatan khusus tentang Aristoteles yeng menganggap bahwa “pikiran’ dapat dipertimbangkan sebagai ‘wakil-wakil dari hal-hal’, dan bahasa dalam hal ini merupakan tanda-tanda dari pikiran. Aristoteles mengatakan bahwa kata-kata merupakan” tanda-tanda dari afeksi-afeksi jiwa”. Dia mengatakan :
(Kata-kata tuuturan adalah tanda-tanda dari afeksi-afeksi jiwa dan kata-kata tertulis adalah tanda-tanda dari kata-kata tuturan. Sebagaimana semua manusia tidak memiliki tulisan yang sama, demikian pula semua manusia tak memiliki suara tuturan yang sama, akan tetapi afeksi-afeksi jiwa yang di tandai oleh kata-kata tuturan adalah sama semua, sebagaimana juga hal-hal dari pengalaman-pengalaman kita adalah imaji-imaji).
Penyebutan “ilmu” pada sosiologi tidaklah sama dengan ilmu-ilmu yang lain. Akan tetapi ia akan berada di daerah yang lebih longgar (Monaco, 1981:140). Sebagai akibatnya maka timbullah masalah tersendiri pada semiologi. Apakah semiologi merupakan suatu ilmu tersendiri yang belum jelas bentuknya (sebagaimana yang diramalkan dan diyakini Saussure) ataukah hanya menjadi bagian dari ilmu lain (sebagaimana Barthes menganggapnya sebagai bagian dari linguistik). Seperti yang dikatakan Fiske (1982 :118), ia tidak sepakat dengan posisi semiologi dalam peta keilmuan :
(Semiotika secara hakiki adalah sebuah pendekatan teoritis untuk komunikasi yang dalam tujuannya guna mempertahankan prinsip-prinsip terapan secara luas…, hal semacam ini sangat peka terhadap munculnya kritik bahwa semiotika itu terlalu teoritis dan terlalu spekulatif dan bahwa para ahli semiotika tidak membuat upaya untuk membuktikan atau tidak membuktikan teori-teorinya sebagai sebuah jalan obyektif dan ilmiah).
Sejak munculnya Saussure dan Peirce, maka semiologi menitikberatkan bahasannya pada studi tentang tanda dan segala yang berkaitan dengannya. Meskipun dalam semiotika Pierce masih ada kecenderungan meneruskan tradisi skolastik yang mengarah pada inferensi (pemikiran logis) dan Saussure yang menekankan pada linguistik, pada kenyatannya semiologi juga membahas signifikansi dan komunikasi yang terdapat dalam sistem non linguistik. Sementara itu bagi Barthes (1988:179), semiologi hendaknya mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai sesuatu (things).
Memaknai (to signify), dalam hal ini tidak bisa di campuradukkan dengan mengkomunikasikannya. Memaknai berarti bahwa obyek-obyek tersebut tidak hanya membawa informasi, tentang bagaimana obyek-obyek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Barthes dengan demikian melihat signifikansi sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan yang telah terstruktur. Seignifikasi itu tak terbatas pada bahasa, tetapi terdapat pula pada hal-hal yang bukan bahasa. Pada akhirenya Barthes menganggapa kehidupan sosial sendiri merupakansuatu bentuk signifikasi. Dengan kata lain, kehidupan sosial (apapun bentuknya) merupakan suatu sistem tanda tersendiri pula
Pandangan Barthes ini juga banyak dianut oleh semiolog lain sehingga berakibat luasnya ruang lingkup dan obyek penelitian semiologi. Meskipun luas, tetapi semua obyek itu tetap dipandang sebagai sebuah struktur yang di pahami dengan model linguistik. Hal ini nampak misalnya pada bagaimana para semiolog yang pada umumnya memnadang film, program televisi dan radio, poster-poster iklan sertya bentuk lainnya sebagai teks, semacam dalam linguistik. Barthes sendiri dalam bukunya yang berjudul Mythologies (1983:b), mempelakukan obyek-obyek studinya (seperti margarin, sabun mandi, sampul majalah, film Charlie Chaplin dan novel) layaknya seperti memperlakukan bahasa.

Penanda Dan Petanda

Hal pokok dalam semiologi adalah konsep Saussure tentang tanda. Istilah tanda memiliki kamus yang cukup luas, dari teologi sampai kedokteran. Untuk memahamiu tanda tersebut, Barthes meneliti beberapa istilah yang berhubungan dengan tanda yakni sinyal, ikon, indeks, simbol dan alegori. Semua istilah tersebut mengacu pada sebuah relasi antara dua relasi (mengikuti Augustinus). Istilah-istilah ini dipakai oleh penulis yang berbeda yaitu Hegel, Pierce, Jung dan Wallon.
Kemudian Barthes menunjukan adanya masalah eksistensi dari tanda, relasi analogial antar uda tanda, dana adanya oposisi dalam tanda untuk memperjelas makna. Selanjutnya Barthes dengan garis pemikiran Saussurean menerima prinsip artikulasi ganda yang di perkenalkan Saussure. Prinsip itu membagi tanda ke dalam dua bagian yang saling berhimpit, seperti sisi atas dan bawah dari sehelai uang kertas. Dan bila salah satu sisi permukaan di sobek, berarti kan menyobek pula sisi yang lain. Tanda linguistik Saussure memuat penanda (sisi ekspresi) dan petanda (sisi isi). Dengan mengambil konsep strata bentuk dan substansi dari Hjemslev, Barthes melengkapi penanda dan petanda itu dengan dua strata Hjemslev. Karena baik penanda maupun petanda, menurutnya memuat bentuk dan substansi. Pengerttian dari dua istilah ini dijelaskan oleh Barthes (1967 :47), sebagai berikut:
(Bentuk adalah apa yang dapat dilukiskan secara mendalam, sederhana dan koheren[kriteria epistemologis] oleh linguistik tanpa melaui premis ekstralinguistik; substansi adalah keseluruhan rangkaian aspek-aspek fenomena linguistik yang tidak dapat di lukiskan secara mendalam tenapa melalui premis ekstra linguistik).
Dengan dimasukannya strata tersebut, maka tanda memiliki empat hal yang dapat diuraikan sebagai berikut: pertama, substansi ekspresi, misalnya suara dan aartikulator. Kedua, bentuk ekspresi yang dibuat dari aturan-aturan sintagmatik dan paradigmatik. Ketiga, substansi isi; Yang termasuk dalam substansi isi misalnya adalah aspek-aspek emosional, ideologis atau pengucapan sederhana dari petanda yakni makna positif-nya. Keempat, bentuk isi; Ini merupakan susuna formal petanda diantar petanda-petanda itu sendiri yang hadir melalui atau tidaknya sebuah tanda semantik.
Dengan berpatokan pada model linguistik Saussure, maka tanda semiologis juga tersusun dari penanda dan petanda berbeda pada tingkat substansinya. Banyak sistem-sistem semiogis (obyek, bahaasa isyarat, imaji piktoral) memiliki sebuah substansi ekspresi yang esensinya tidak untuk menandai, tetapi semata-mata karena kebiasaan belaka dan asal-usulnya bersifat utilitarian dan fungsional (Barthes, 1967:41). Contohnya pakaian untuk perlindungan dan pangan untuk makanan.
Petanda bukanlah ‘benda’, melainkan representasai mental dari ‘benda’. Saussure sendiri telah menybut hakikat bmental petanda itu dengan istilah ‘konsep’.
Petanda dari kata ‘sapi’ misalnya , bukanlah binatang sapi, tapi imaji mental tentang sapi itu sendiri. Dan bila hendak memahami petanda,tidak bisa tidak harus kembali pada sistem biner Saussure , yaitu pasangan petanda dan penanda. Untuk mengerti yang satu, harus pula melihat yang lainnya. Pencampuran penanda dan petanda dalam suatu bahasa ini oleh Barthes di istilahkan dengan ‘Isologi’.(Barthes, 1967:43).
Meskipun semiologi Barthes menjadikan linguistik Saussure sebagai modelnya, tetpi Barthes telaah perlu mengingatkan bahwa semiologi tidak bisa sama dan sebangun dengan linguistik. Klasifikasi petanda linguistik tidak bisa di terapkan begitu saja pada petanda semiologis. Hal lain dari perbedaan petanda semiologi dan petanda bahasa adalah perluasan dari petanda semiologis. Keseluruhan petanda semiologis daaari sebuah sistem mengkonstitusi sebuah fungsi besar. Fungsi semiologis ini tidak hanya mengkomunikasikan, tetapi juga bertumpang tindih dengan yang lainnya. Bentuk petanda dari sistem garmen, misalnya, mungkin sebagiannya sama dengan petanda dalam sistem makanan, karena keduanya terartikulasikan dalam oposisi berskala besar dari kerja dan perayaan, dari aktivitas dan kenikmatan. Deengan demikian oreng itu, menurut Barhes (19667:46), harus meninjau sebuah deskripsi ideologi total dan umum pada semua sistem sinkroni yang terberikan.
Hakikat penanda sama saja dengan petanda ,yaitu secara murni merupakan sebuah rela si oleh keseluruhan pesan yan pmemnacar pada derajat dari pusat yang dipelajari. Pemutusan dilakukan dalam satuan-satuan signifikan, minimal dengan cara uji komutasi yang kemudian mengelompokannya ke dalam kelas-kelas paradigmatik, dan akhirnya mengklasifikasikan hubungan-hubungan sintagmatik yang menghubungkan satuan-satuan tersebut.
Hubungan penanda dan petanda atau signifikansi sangat diperlukan dalam wacana semiologi. Berbagi penjelasan telah di usahakan oleh beberapa orang tokoh yang menghasilkan banyak model. Barthes kemudian menyebutkan empat macam bentuk signifikansi yang telah di upayakannya:
1.Sr
Sd
Formula ini diajukan Saussure. Tanda muncul sebagai perluasan vertikal dari sebuah situasi secara mendalam. Dalam bahasa, petanda ada di belakang penenda dan dapat di capai hanya melaluinya. Disatu sisi hal ini mengakibatkan metafor-metafor spasial yang menghilangkan hakikat dialektis signifikasi, dan di sisi lain ciri’tertutup’ dari tanda dapat diterima hanya bagi sistem-sistem terputus yang halus seperti pada bahasa.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites