Rabu, 07 September 2011

Herakleitos


Herakleitos (dalam bahasa Latin “Heraclitus”) dilahirkan di Ephese (kota di pantai Jonia). Kerap kali, dalam sejarah filsafat, dia dimasukkan dalam golongan filsuf Jonia. Akan tetapi, karena ia sudah mengerti pengajaran Xenophanes dan Pythagoras, lebih baik jika ditempatkan sesudah kedua filsuf ini. Jika dibandingkan dengan filsuf-filsuf lainnya dari zaman permulaan itu, Herakleitos tampak lebih ahli dalam pikiran spekulatif. Sesudah memegang jabatan tinggi, dia meninggalkan kedudukannya untuk mengabdikan diri kepada ilmu pengetahuan semata-mata. Sejarah memberi nama “Si Gelap” (ὁ σκοτεινός) kepadanya. Sebab apakah? Ada yang mengatakan karena pengajarannya gelap; ada juga yang menerangkan bahwa nama itu menunjuk pesimisme yang ada padanya. Pesimisme ini ditimbulkan dari politik pada waktu itu atau akibat pengajarannya tentang kefanaan dunia.
Kalau kita membaca fragmen-fragmen dan mendengar kesaksian-kesaksian, timbullah kesan bahwa wataknya tinggi hati dan sombong. Ia memandang rendah rakyat yang bodoh dan menegaskan bahwa kebanyakan manusia jahat. Ia mengutuki para warga negara Ephesos dan mencela orang-orang terkemuka yang dijunjung tinggi di seluruh negeri Yunani, seperti Hoeros, Arkhilokhos, Hesidos, Pythagoras, Xenophanes, dan Hekataios. Demikian juga, ia berbalik dari ajaran filsuf-filsuf sebelumnya dan mencari jalannya sendiri. Tetapi, itu tidak berarti bahwa ia tidak dipengaruhi oleh filsuf-filsuf itu.
B. Kesatuan dalam Pertentangan
Untuk memaparkan ajaran Herakleitos, kita mulai dengan teori ini. Anaximandros dan para penganut Pythagoras sudah menunjuk bahwa alam itu penuh dengan pertentangan-pertentangan. Herakleitos meneruskan pikiran ini: “Jalan naik dan turun adalah satu dan sama”, “Tuhan adalah siang malam, musim dingin musim panas, perang damai, kepuasan kelaparan”
Pandangan Herakleitos tidak statis, tetapi dinamis. Yang satu bergerak ke yang lain. Oleh karena itu, yang lain itu sudah termuat sebelumnya. Hidup bergerak ke arah kematian. Tidakkah ini bararti bahwa mati sudah termuat di dalam hidup? Demikianlah juga dengan dingin dan panas. Karena memandang bahwa yang bertentangan itu dimuat di dalam setiap hal, untuk memperlihatkan kesatuan ini, Herakleitos mempergunakan cara-cara berkata yang paradoksal (semu bertentangan): mati itu hidup, peperangan itu perdamaian, dan yang satu lahir dari yang lain. Jadi, hal-hal yang bertentangan itu saling ganti dengan tak ada hentinya. Di dalam alam, sama sekali tidak ada perhentian. Semua terus-menerus mengalir seperti air sungai yanag selalu ganti-mengganti sehingga orang tidak dapat dua kali turun ke dalam sungai yang sama. Dapatkah sesuatu dikatakan “ada“? tidak, melainkan harus disebut terus-menerus “menjadi“.
Keyakinan bahwa realitas terdiri dari unsur-unsur bertentangan yang keseluruhannya mengalir ibarat arus sungai, membawa Herakleitos juga kepada pendirian: tidak ada satu realitas pun yang dapat dipikirkan tanpa realitas lawannya. Begitu misalnya, kita tidak pernah dapat mengerti apa itu “malam” kalau tidak tahu apa itu “siang”. Atau, kita tidak dapat berpikir tentang “kehidupan” jika tidak mengenal “kematian”. Dari hubungan berbagai pertentangan inilah, segala sesuatu terjadi dan tersusun. Herakleitos mengungkapkan keyakinan ini dalam suatu kalimat legendaris, “Perang adalah bapak segala sesuatu!” Perang di sini berarti pertentangan.
Panta khorei kai ouden menei (πάντα χωρεῖ καὶ οὐδὲν μένει): segalanya berubah dan tidak ada yang tetap tinggal . Adanya pertentangan-pertentangan itu dengan sendirinya membangkitkan gambaran bahwa dalam barang-barang itu ada peperangan .
C. Logos sebagai Pengatur Peperangan
Alam penuh dengan peperangan dari pertentangan-pertentangan yang menyebabkan perubahan-perubahan. Bagaimanakah jalan perubahan-perubahan ini? Tidak dengan serampangan saja, melainkan menurut aturan hukum yang tetap sehingga dalam kejadian-kejadian alam itu ada harmoni, kesatuan, dan keseimbangan dari pertentanngan-pertentangan. Menurut ajaran Pythagoras, harmoni itu bersifat ilmu pasti; menurut Herakleitos merupakan hukum alam yang umum. Hukum ini adalah “imanen“ atau berada di dalam alam. Pikiran semacam ini sudah terdapat dalam ajaran Anaximandros, yang mengakui hukum yang imanen dalam kosmos. Dalam pandangan ini, barang-barang yang banyak itu tidak hanya merupakan kebanyakan, tidak hanya berjejer-jejer dengan berdampingan, melainkan dipersatukan oleh hukum Ilahi yang “menjiwai“, yang mengatur segala-galanya dan menghukum pelanggaran. Hukum atau norma yang imanen itu disebut logos. Jika Herakleitos sendiri tidak memakai istilah itu, yang terang ialah bahwa dialah yang menanamkan pikiran itu.
Logos merupakan sebab imanen dari pola yang jelas terlihat dalam perubahan yang konstan dari segala sesuatu. Heraklitos juga melilhat logos sebagai API alamiah yang menghasilkan terang atau semacam pijaran panas yang memiliki kekuatan alamiah yang mampu menggerakkan sesuatu. Siang dan malam membawa kita pada gagasan tentang perubahan permanen. Namun, sejauh siang dan malam secara eksistensial berhubungan dan saling tergantung, kita akan selalu dibawa kepada ide tentang kesatuan dalam pluralitas. Herakleitos melihat bahwa logos merupakan budi ilahi yang menjadi dasar eksistensi tiap benda pertikular dalam universum.
D. Pertentangan dalam Hidup Sehari-Hari
Bagaimanakah yang disebut dengan pertentangan adalah keadilan (DK B 80)? Bagaimana kita bisa memahaminya dalam hidup kita? Mari kita perhatikan fragmen berikut: DK B 111, (νοῦσος ὑγίειαν ἐποίησε ἡδὺ καὶ ἀγαθόν, λιμὸς κόρον, κάματος ἀνάπαυσιν). “Keadaan sakitlah yang membuat keadaan sehat menyenangkan dan baik; kelaparan, kelimpahan; keletihan, ketenangan.”
Herakleitos di sini menyajikan tiga pasang keadaan. Yang pertama memiliki penilaian negatif dan yang kedua memiliki penilaian positif. Seperti kebanyakan fragmen, hal ini dapat dihubungkan dengan berbagai aspek dari pemikiran Herakleitos. Pertama, hal ini mengindikasikan keterbatasan-keterbatasan cara konvensional mempertimbangkan sesuatu hal. Dalam kasus masing-masing pasang keadaan, orang hanya ingin kondisi yang terakhir, tetapi hal ini mustahil. Tidak akan ada kegembiraan atas rasa sehat jika tidak didahului sakit fisik. Seseorang tidak dapat menikmati nikmatnya makanan yang enak, tanpa lapar sebelumnya. Seseorang tidak dapat menikmati waktu istirahat tanpa sedang beristirahat dari beberapa aktivitas. Seseorang mungkin hanya berharap akan kesehatan, kepuasan, dan istirahat, tetapi yang berlawanan sebisa mungkin dihindari.
Sebagai seorang pelajar, tidak akan muncul realitas kegembiraan karena mendapat nilai yang baik kalau sebelumnya tidak ada penderitaan karena belajar keras. Maka, bijaklah peribahasa kita ini: “Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”.
Ada ungkapan yang bisa sedikit membantu kita memahami pertentangan itu suatu keadilan, terbentur-bentur terbentuk. Bukankah kalau ada tantangan dalam kesulitan hidup, kita semakin diajak untuk terus mengembangkan diri, membentuk diri. Dalam ketegangan antara yang bertentangan itulah realitas muncul. Pertentangan yang dimaksud bolehlah kita sebut sebagai perjuangan untuk hidup yang lebih baik. Dan, pertentangan menjadi adil jika Rossi vs Lorenzo, Rafael Nadal vs Roger Fereder, MU vs Barcelona, dsb. Tentu, di antara keduanya tidak akan saling meremehkan dan kemenangan akan terasa jauh lebih bermakna jika menghadapi musuh yang sederajat dan seimbang.
Bibliografi
_____, http://philoctetes.free.fr/heraclitus.htm (diunduh 18 September, 2009).
A. Long , A. “Heraclitus”, dalam Routledge Encyclopedia of Philosiphy, ed. Edward Craig, London: Routledge, 1998. hal. 366.
Beoang, Konrad Kebung. Plato: Jalan menuju Pengetahuan yang Benar. Yogyakarta: Kanisius,
1997.
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Driyarkara, SJ, Permulaan Filsafat Yunani, dalam Karya Lengkap Driyarkara: Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. A. Sudiarja, et. Al. (penyunting), (Jakarta: 2006), Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006.
Goldin, Owen. “Heraclitean Satiety and Aristotelian Actuality”, dalam The Monist: An International Quartery Journal of General Philosophical Inquiry, Vol. 74, La Salle, Illinois, 1991. hal. 568-576.
Tjahjadi, Simon Petrus L., Petualangan Intelektual: Konfrontasi Dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

1 komentar:

anda berpikiran sangat terbuka, salam kenal dari saya :)

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites